Rabu, 29 Februari 2012

Pindah Blog

Blog ini telah saya pindah ke blog saya yang baru http://dedaunankering.blogdetik.com. Check it out...!!
Mau baca lengkapnya? Klik aja......

Rabu, 23 Februari 2011

SAATNYA MEMAINKAN KARTU S

Memasuki tahun 2011 kita dihadapkan pada tantangan yang cukup memacu adrenalin kita, yaitu penugasan penyaluran pupuk Phonska bersubsidi sebesar 1.960.000 ton. Itu berarti peningkatan sebesar 660.000 ton atau sebesar 50% dibandingkan dengan realisasi penyaluran Phonska tahun 2010.
Kenaikan 50% tentu merupakan tugas yang sama sekali tidak dapat dipandang ringan, apalagi kendala-kendala yang kita hadapi tahun lalu diprediksikan masih akan kita alami pada tahun ini, seperti anomali iklim, program bantuan langsung pupuk, strategi penjualan secara paket dengan Urea yang dilakukan para pesaing, daya beli petani yang semakin tertekan karena kegagalan tanam dan panen tahun lalu dan sebagainya. Pemerintah mungkin telah menghitung secara teknis kebutuhan pupuk NPK berdasarkan luas lahan yang ada, namun pada akhirnya petanilah yang menentukan apakah mereka akan menggunakan atau tidak. Masalahnya kita dihadapkan pada pertanyaan seberapa besarkah petani kita yang sudah tahu? Dari yang sudah tahu, berapakah yang mau menggunakan? Dari yang tahu dan mau, berapakah yang mampu membeli? Dari kondisi tersebut, yang bisa kita lakukan dengan upaya komunikasi pemasaran kita adalah paling tidak konsumen “tahu dan mau” menggunakan pupuk Phonska.

Berbagai upaya operasional dalam komunikasi pemasaran sebenarnya telah dilakukan untuk merangsang permintaan pasar dan meningkatkan penyerapan. Berbagai kombinasi bauran promosi telah dicoba dan berhasil meningkatkan penjualan walaupun belum dapat mengimbangi kenaikan kuantum penugasan yang memang cukup tinggi tersebut. Kondisi ini tentu harus menjadi fokus kita karena kapasitas produksi NPK kita direncanakan akan mencapai 2,8 juta ton pada tahun depan. Hal ini memaksa kita untuk memikirkan upaya-upaya pemasaran yang lebih strategis dan fundamental dari sekedar operasional semata.

Bagi saya, Phonska memang memiliki keunikan tersendiri. The Nature of the business dari industri pupuk (bersubsidi) sebenarnya adalah produk komoditi dimana biaya yang termurah adalah satu-satunya senjata pamungkas yang bisa diandalkan untuk memenangkan persaingan. Namun pada artikel saya tahun 2000 (It’s a Phonska), saya mengulas bahwa dengan meluncurkan Phonska kita sebenarnya telah memperlakukan produk pupuk ini sebagai produk yang lebih bersifat non komoditi. Kita tidak lagi hanya mengandalkan biaya yang murah tapi siap bertarung dalam fitur-fitur produk untuk meyakinkan pasar agar bersedia membayar extra price yang kita harapkan. Hal ini wajar karena konsep awal Phonska difokuskan untuk smart market yaitu perkebunan besar. Namun dalam perjalanannya terjadi perubahan strategi yang sangat signifikan dimana produk ini dialihkan target marketnya ke petani tanaman pangan yang memiliki karakteristik sangat sensitif terhadap harga. Padahal kita tahu bahwa Phonska adalah produk dengan harga premium dibandingkan pupuk tunggal yang biasa dipakai oleh petani saat itu.

Sebenarnya, ketika sebuah produk memasuki pasar dengan karakteristik non komoditi, maka produk tersebut harus memiliki positioning tertentu di benak konsumen yang akan menjadi driver bawah sadar konsumen untuk memilihnya pada saat dia membutuhkan barang dari kategori produk tersebut. Seperti yang saya bahas dalam tulisan saya yang lalu (Re-positioning Petrokimia?), perang dalam konteks komunikasi pemasaran sebenarnya terjadi dalam benak konsumen yaitu memperebutkan posisi tertentu di benak konsumen relatif terhadap produk-produk pesaing. Pada awal peluncuran Phonska, positioning ini dengan mudah kita lakukan karena dalam pasar pupuk NPK untuk tanaman pangan saat itu Phonska adalah first mover, relatif belum ada petani pangan (padi) yang menggunakan NPK. Dengan tidak adanya referensi atau pembanding lain, Phonska dengan cepat mendapat tempat dalam benak petani. Namun kondisi saat ini telah jauh berbeda. Kue subsidi yang demikian besar dan potensi kebutuhan yang demikian menggiurkan telah menarik para pesaing, yang tadinya hanya terfokus pada urea, untuk juga memasuki pasar NPK sebagai free rider. Walaupun belum cukup signifikan gangguan yang ditimbulkan namun kita harus tetap waspada dan tidak menganggap sebelah mata para pesaing ini jika kita tidak ingin bernasib seperti industri automotif Amerika yang semula menganggap mobil-mobil dari Jepang sebagai barang rongsokan dari Timur. Para pesaing kita saat ini telah mengambil langkah-langkah strategis untuk memperkuat diri termasuk membentuk strategic alliances dengan para pemain dunia dalam industri pupuk.

Menghadapi kondisi yang semakin sulit saat ini, menurut saya selain upaya-upaya operasional yang telah dan sedang kita lakukan, kita tidak lagi dapat menghindar untuk memikirkan hal yang lebih strategis dan fundamental dalam konteks pemasaran yaitu positioning Phonska. Apapun yang kita lakukan salah satu kunci yang harus kita dapatkan adalah sebuah positioning yang kuat dari Phonska. Untuk itu kita dituntut untuk lebih memiliki fokus dalam strategi komunikasi pemasaran kita. Menurut saya kita harus mulai memiliki the central theme yang akan menjadi fokus kita dan memberi jiwa pada setiap langkah komunikasi pemasaran kita.

Selama ini kita telah berhasil memposisikan diri sebagai pabrik pupuk terlengkap dan pusat pupuk berbasis P dan K. Namun tidak lama lagi kita mungkin harus mulai menahan rasa bangga tersebut karena para pesaing kita saat ini telah pula memproduksi pupuk NPK. Lalu apakah yang dapat kita lakukan untuk kita jadikan sebagai the central theme guna memperkuat positioning Phonska? Menurut saya inilah saatnya kita harus mulai memainkan kartu yang selama ini belum kita mainkan yaitu kartu S atau belerang.

Selama ini benak konsumen pupuk dijejali dengan pemahaman bahwa unsur hara yang dibutuhkan tanaman terbagi dua yaitu makro dan mikro. Dalam kelompok unsur makro ada N, P, K, S, Mg dan Ca. Namun yang dijejalkan dalam benak konsumen selama ini adalah klasifikasi pupuk dalam empat kelompok besar yaitu pupuk N, pupuk P, pupuk K dan pupuk majemuk atau NPK. Sedang S, Mg dan Ca selama ini diposisikan sebagai unsur hara makro sekunder dan hanya sebagai ’pendamping’ ketiga unsur pertama yang disebut sebagai unsur hara makro primer. Disinilah menurut saya kita memiliki peluang untuk memperkuat positioning Phonska, yaitu dengan cara “mengangkat derajat dari unsur hara S”.

Benak konsumen sebenarnya dipenuhi oleh bermacam-macam medan perang, yang disebut sebagai positioning map, dari berbagai kategori produk. Dalam setiap map dari masing-masing kategori produk ini bertarunglah para kontestan. Pemenang dalam setiap map ini akan menempati urutan teratas dalam daftar referensi konsumen ketika mengonsumsi suatu produk. Disinilah positioning strategy diperlukan, agar produk atau brand kita berada di tempat teratas dalam referensi konsumen.

Dalam kategori produk pupuk bisa dikatakan ada empat positioning map yaitu pupuk N, pupuk P, pupuk K dan pupuk majemuk atau NPK. Walaupun dalam berbagai kesempatan kita selalu menginformasikan pentingnya S, unsur ini masih dianggap sebagai unsur hara pendamping bagi ketiga unsur hara terdahulu. Hal ini karena secara konseptual, kita tidak memiliki tema sentral dalam strategi komunikasi pemasaran kita. Untuk itulah saya mengusulkan agar kita mencanangkan ”mengangkat derajad S” sebagai tema sentral dalam strategi komunikasi pemasaran kita. Dengan tema ini, kita sebenarnya ingin membuat sebuah positioning map baru untuk kategori produk pupuk dalam benak konsumen. Jika selama ini hanya ada positioning map untuk pupuk N, pupuk P, pupuk K dan pupuk NPK, maka kita harus mulai menciptakan positioning map baru yaitu pupuk S. Dengan kata lain kita harus mulai mengangkat “derajad” S sejajar dengan N, P dan K. Secara teknis, pada kenyataannya S memiliki fungsi tersendiri dalam pertumbuhan tanaman yang berbeda dan sama pentingnya dengan ketiga unsur hara makro yang lain. Dalam setiap komunikasi kita dengan konsumen dan semua stakeholder, kita harus berani memperkenalkan kosa kata baru dalam industri pupuk yaitu “pupuk S”. Semua desain brosur, leaflet, iklan, kalender, buku agenda dan alat-alat promosi yang lain harus secara tegas menyampaikan pesan tersebut kepada konsumen. Dalam setiap kesempatan berkomunikasi dengan konsumen, kita sudah harus mulai menghilangkan dikotomi istilah unsur hara makro primer dan sekunder, cukup unsur hara makro. Jika perlu kita selenggarakan seminar-seminar khusus tentang unsur hara S. Pendeknya semua energi kita fokuskan seperti kita memperkenalkan sebuah produk baru. Kita membombardir benak konsumen dengan pesan-pesan tersebut sehingga terbentuk persepsi baru tentang unsur hara S. Membangun dinding persepsi inilah memang tujuan dari sebuah strategi positioning. Bila dinding persepsi ini telah terbentuk, maka insya Allah lebih mudah bagi kita untuk membentuk positioning bagi Phonska, karena salah satu keunggulan Phonska adalah adanya kandungan S. Terbentuknya persepsi baru untuk unsur hara S ini juga bisa kita gunakan untuk melakukan re-positioning pupuk kita yang lain yaitu ZA.

Konon, kita juga akan menambah satu lagi pabrik pupuk ZA. Hal ini tentu saja harus menjadi antisipasi kita. Selama ini sadar atau tidak ZA kita posisikan sebagai pupuk N. Dalam positioning map pupuk N, tentu saja ZA harus berhadapan langsung dengan sang raja pupuk N yaitu Urea. Tentu saja akan sangat sulit bagi ZA untuk mencoba menggeser dominasi Urea. Untuk itulah dinding persepsi tentang unsur hara S bisa kita mainkan. Pilihannya apakah kita tetap memposisikan ZA sebagai pupuk N yang mengandung S atau sebaliknya kita membuat sebuah revolusi dengan mulai memperkenalkan ZA sebagai pupuk S yang mengandung N (kenyataannya kandungan S pada ZA lebih tinggi daripada N). Pilihan pertama kita sengaja menabrakan secara frontal ZA dengan Urea namun dengan tenaga yang lebih besar. Bila pilihan kedua yang kita pilih berarti kita menghindarkan ZA dari tabrakan frontal dengan Urea dan membangun sebuah positioning map yang baru. Artinya, kita memproklamirkan bahwa ZA bukan substitusi Urea, tapi komplemen bagi Urea. Kedua pilihan tersebut akan sangat menentukan bagaimana strategi komunikasi pemasaran kita selanjutnya. Pilihan apapun yang kita ambil, harus menjadi komitmen bersama dan menjadi acuan serta mewarnai secara konsisten strategi pemasaran kita. Meski demikian semua upaya ini tentu saja harus dikorelasikan dengan pertimbangan teknis. Misalnya upaya ini mungkin perlu kita batasi pada wilayah-wilayah yang secara teknis kahat S dan tidak didominasi oleh tanah-tanah bersifat masam.

Membentuk persepsi konsumen tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sedikit, karena kita harus meruntuhkan persepsi yang telah terbentuk selama puluhan tahun dalam benak petani dan membangun dinding persepsi yang baru. Untuk itu tidak ada salahnya jika mulai untuk memikirkannya dari sekarang di tengah kesibukan operasional sehari-hari. Apa yang saya kemukakan dalam tulisan ini hanyalah satu alternatif. Tentu saja tidak tertutup kemungkinan banyak alternatif lain yang bisa kita ambil sebagai the central theme untuk strategi komunikasi pemasaran kita. Kita memang dituntut untuk terus berpikir inovatif guna membangun tema-tema yang lain karena para pesaing akan siap menjadi free rider dengan mengcopy paste strategi kita begitu kita mencapai kesuksesan di pasar seperti halnya saat mereka menjadi follower kesuksesan kita meluncurkan Phonska di pasar pupuk subsidi
Mau baca lengkapnya? Klik aja......

Jumat, 12 November 2010

SEBUAH PESAN, SEBUAH KETUKAN, SEBUAH HARAPAN

Hari ini insya Allah akan dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB) perusahaan kita. Kuat beredar kabar bahwa Direktur Umum dan SDM akan dijabat seorang mantan GM Pemasaran. Jika ini benar maka jajaran top management di direktorat SDM (Direktur dan GM) akan dijabat oleh dua orang alumni pemasaran. Hal ini menerbitkan sebuah harapan baru bagi kita semua bahwa akan ada perubahan signifikan dalam kebijakan-kebijakan di bidang SDM.
Dengan pejabat yang cukup lama berkarier di pemasaran, saya berharap manajemen dapat lebih menerapkan “marketing based human resource management” atau MBHRM (manajemen SDM berbasis pemasaran). Competency based HRM memang diperlukan, namun dalam konteks strategic managementyang lebih luas, dimanapun kita berada thinking marketing is a must, karena pada dasarnya dimana ada target yang harus dicapai disitulah ada pasar yang harus dilayani dan dipuaskan.

Saya berharap manajemen baru dapat lebih mamahami bahwa karyawan adalahinternal market yang harus dilayani dan dipuaskan. Karyawan bukanlah sekedar asset, tapi harus dipandang sebagai pasar dimana kita menyandarkan harapan-harapan akan kesuksesan sebuah perusahaan. Semoga manajeman baru bisa menerima kenyataan bahwa tidak akan ada sebuah kesuksesan yang langgeng tanpa kepuasan pelanggan eksternal (pembeli produk kita) dan sulit untuk menggapai kepuasan pelanggan ekternal tanpa kepuasan karyawan sebagai pelanggan internal. Makin banyaknya keluhan pelanggan akan kualitas produk kita akhir-akhir ini bukanlah semata-mata masalah mixer atau dozometer. Jika kita mau menelaah lebih jauh dan dalam, insya Allah akan kita temukan hubungan antara kepuasan pelanggan eksternal tersebut dengan kepuasan karyawan sebagai pelanggan internal yang “membeli produk-produk kebijakan SDM”. Maka saya berharap akan ada proses marketing dalam kebijakan-kebijakan manajeman SDM ke depan yang dimulai dengan listening to the voice of customers. Selama ini kita takut berdiri di depan cermin menyaksikan kelemahan diri. Tidak pernah ada sebuah survey kepuasan karyawan yang terbuka dan komprehensif sehingga kita tidak pernah mendengarkan suara mereka. Saya berharap dengan dasar voice of customers itulah kebijakan-kebijakan SDM ke depan dibangun dan “dijual” kepada karyawan yang pada gilirannya akan “dibeli” oleh karyawan dan “dibayar” dengan “komitmen” mereka. Demikianlah seterusnya marketing cycle ini saya harap secara sistem dapat dipertahankan baik untuk mengevaluasi produk-produk kebijakan SDM yang telah lalu maupun untuk memproduksi atau meluncurkan produk-produk kebijakan SDM yang baru.

Akhirnya, on top of that, jika semua itu tak mungkin bisa dicapai, saya hanya berharap bahwa minimal manajemen baru dapat menerapkan “Heart-based Management” (manajemen berbasis hati nurani). Ya Allah, lindungilah para pemimpin kami. Berilah mereka kekuatan, kesehatan dan kejernihan dalam mengemban amanah, baik kejernihan pikiran maupun kejernihan hati nurani!!
Mau baca lengkapnya? Klik aja......

Sabtu, 14 November 2009

Repositioning Petrokimia?

(Dimuat di Buletin Gema Edisi Oktober 2009)
Struktur organisasi di Direktorat Pemasaran mengalami pengembangan cukup signifikan dengan penambahan kompartemen baru yaitu Kompartemen Riset. Sebagai kompartemen baru kehadirannya sungguh menarik perhatian, karena kompartemen ini segera diisi oleh para sarjana baru yang sebagian besar saat ini dikirim ke berbagai perguruan tinggi ternama untuk melanjutkan pendidikan.
Menurut pengamatan saya langkah manajemen ini menunjukan adanya upaya untuk melakukan revisi strategi bagi perusahaan yaitu dengan melakukan sebuah repositioning perusahaan.

Positioning adalah upaya kita untuk menempatkan atau membentuk diri kita agar semua pihak yang terlibat dalam industri yang kita geluti, terutama konsumen, melihat kita dengan persepsi sesuai dengan keinginan kita. Positioning merupakan proses membangun jati diri sebuah entiti bisnis dan boleh jadi merupakan salah satu tahapan dalam manajemen strategik yang paling penting. Hal ini karena positioning merupakan jembatan komunikasi dengan konsumen. Positioninglah yang mendasari sebuah perusahaan untuk menentukan seluruh langkah dalam aktivitas bisnisnya karena dengan positioning sebenarnya kita tengah mengkomunikasikan sebuah komitmen tentang apa yang akan kita berikan kepada pasar. Berdasarkan komitmen inilah pasar akan melakukan evaluasi terhadap performance produk dan bahkan reputasi perusahaan kita. Perang yang terjadi dalam pemasaran sebenarnya terjadi dalam benak konsumen yaitu untuk memperebutkan tempat bagi produk kita di mind-set konsumen. Dengan positioning kita berupaya untuk mendapatkan tempat tersebut. Bila sebuah merk produk telah masuk dalam mind-set konsumen maka akan memiliki peluang lebih besar untuk muncul sebagai referensi bila suatu saat konsumen membutuhkan produk tersebut. Sebaliknya bila kita gagal dalam positioning kita, maka produk kita secara otomatis teringkir dari mind set konsumen dan menjadi alternatif terakhir untuk dikonsumsi.

Dalam pandangan saya selama ini Petrokimia telah melakukan segala daya upaya untuk membangun sebuah positioning sebagai pabrik pupuk terlengkap di Indonesia. Positioning inilah yang telah berhasil kita tanamkan dalam benak konsumen kita sehingga setiap kali konsumen berpikir tentang pupuk, maka referensi pertama yang muncul adalah Petrokimia. Tepatlah positioning statement kita, Pupuk…ya Petro!. Sebagai konsekuensinya aktivitas kitapun berkiblat ke arah positioning tersebut. Maka kitapun mengobsesi diri untuk memproduksi berbagai jenis pupuk, baik anorganik maupun organik. Hal ini berbeda dengan para pesaing utama kita yang memfokuskan diri pada Urea. Lalu mengapa saat ini kita perlu melakukan repositioning?

Dalam artikel yang saya tulis di Buletin Petrogres edisi April 2000 (It’s a Phonska), saya mengulas bahwa dengan meluncurkan Phonska, sebenarnya kita mencoba menyeret industri pupuk di Indonesia dari produk komoditi ke non-commodity. Kita menempatkan industri ini dari kelompok strategi cost-leadership ke dalam differentiation strategy group. Artinya kita mulai mencoba menjadi differentiator, kita tidak hanya mengandalkan biaya produksi yang rendah, tapi kita mulai berani menampilkan fitur produk yang membedakan produk kita dari pesaing sehingga layak mendapatkan extra price. Strategi ini sebenarnya merupakan strategi yang berani mengingat konon pada awal peluncurannya terjadi perubahan sangat signifikan dalam strategi pemasaran Phonska. Pupuk yang semula ditargetkan untuk pasar industri perkebunan, dialihkan target marketnya ke retail (petani pangan). Perubahan ini membawa konsekuensi cukup besar, karena dari rencana masuk ke pasar sebagai follower (pupuk NPK telah banyak digunakan oleh industri perkebunan), menjadi first-mover (pupuk NPK relatif belum digunakan oleh petani pangan). Dari target market dengan karakteristik smart market menjadi konsumen yang berorientasi pada harga (value for money). Tidak heran jika energi yang dialokasikan oleh perusahaan di awal proses penetrasi pasar untuk Phonska sungguh luar biasa. Terlepas dari kebijakan subsidi oleh pemerintah, Phonska segera menjadi ikon baru dalam industri pupuk dan bahkan menjadi andalan utama kita dalam mendulang revenue. Phonska segera saja menjadi nama generik baru dalam pasar pupuk bersubsidi.

Namun demikian dalam artikel lain di bulletin yang sama (Ada Phonska Jialing?), saya mencoba mengingatkan kita semua bahwa bagi sebuah entiti bisnis dalam kelompok strategi differensiasi, tampil beda adalah segalanya. Jika keunggulan bersaing yang kita bangun dengan mudah dapat diikuti oleh pesaing maka strategi differensiasi kita tidak akan efektif lagi. Untuk itu sangat penting bagi kita untuk membangun sebuah kompetensi unik yang sulit dicopy oleh pesaing kita. Seperti telah saya duga dalam artikel pertama saya, keberhasilan Phonska telah memunculkan banyak free-rider. Para pesaing utama kitapun mulai mencoba menggeser positioningnya menjadi sebagai “pabrik pupuk yang juga lengkap”, sebuah me-too strategy yang biasa digunakan oleh para follower atau free rider. Mereka mulai juga memproduksi pupuk non Urea dan bahkan pupuk organik. Hal ini karena kompetensi yang kita bangun untuk menciptakan keunggulan bersaing kita tidak cukup unik dan dengan mudah diimitasi oleh pesaing.

Oleh karena itu di segmen akhir artikel It’s a Phonska tersebut, saya menyarankan perlunya kita membangun kompetensi unik kita di fungsi R&D. Hal ini karena untuk tampil beda kita harus selalu menciptakan sesuatu yang baru. Maka saya termasuk orang pertama yang gembira dan setuju ketika manajemen memutuskan untuk membentuk Kompartemen Riset, karena inilah saatnya kita harus mulai membangun sebuah posisi baru yang “bukan sekedar pabrik pupuk terlengkap”.

Mengikuti pemaparan program kerja Kompartemen Riset, saya memiliki keyakinan bahwa manajemen sedang menggeser positioning perusahaan ini dari sekedar pabrik pupuk terlengkap menjadi sebuah “farm productivity centre”. Bahkan, mungkin kita akan berlari lebih jauh lagi seperti mimpi yang saya tuangkan dalam cerpen saya di media ini beberapa waktu yang lalu (Once Upon a Time…), yaitu kita berobsesi menjadi “a total solution to farm-productivity”. Kita seharusnya tidak sekedar memproduksi berbagai produk untuk meningkatkan produktivitas pertanian, tapi lebih jauh dari itu kita harus menjadi solusi menyeluruh bagi petani. Maka menurut hemat saya Kompartemen Riset seharusnya mengambil persoalan riil yang dihadapi target market kita sebagai pijakan aktivitas risetnya. Dengan kata lain, kita seharusnya tidak hanya mendasarkan pada studi literatur di perpustakaan dalam mencari ide penciptaan produk baru, tapi harus juga mengambil persoalan riil petani sebagai ide awal pengembangan produk baru. Ada baiknya diadakan program customer insight bagi para peneliti, yaitu para peneliti kita wajibkan untuk tinggal bersama target market kita (petani) selama beberapa waktu, berdialog dengan mereka dan merasakan denyut nadi kehidupan mereka. Dengan in-depth interaction inilah diharapkan para peneliti dapat menangkap berbagai persoalan riil yang dihadapi oleh target market kita dan mencari solusinya. Interaksi yang sangat mendalam tersebut akan memungkinkan kita untuk mengeksploitasi customer value dari target market kita yang tersembunyi, bukan hanya yang terlihat dipermukaan. Dengan demikian produk yang akan dikembangkan nantinya benar-benar merupakan solusi yang memang dibutuhkan konsumen. Boleh jadi dimensi riset kita nantinya akan lebih luas bukan hanya pupuk, benih dan pembenah tanah, namun juga mungkin masalah-masalah mekanisasi, pengolahan hasil pertanian dan hal-hal lain yang bersentuhan dengan kehidupan dan kesejahteraan petani. Dengan cara ini insya Allah kita benar-benar akan menjadi sebuah solusi menyeluruh bagi target market kita.

Namun demikian dalam artikel yang sama saya mencoba mengingatkan kita semua bahwa membangun fungsi R&D menjadi sebuah kompetensi unik bukanlah perkara mudah. Hal ini karena membangun kompetensi di fungsi R&D akan terkait langsung dengan pengembangan kompetensi individu karyawan. Disinilah kompleksitas tersebut harus kita antisipasi. Individu karyawan adalah manusia dengan segala keunikannya. Kompetensi teknis para peneliti bisa saja sama, namun masing-masing individu akan memiliki motivation driver yang beragam. Apa gunanya memiliki SDM yang sangat mampu, namun enggan berkarya. Maka akan sulit membangun kompetensi di fungsi R&D jika tidak didukung oleh pengelolaan SDM yang dapat secara signifikan meningkatkan dan menjaga komitmen masing-masing individu karyawan pada perusahaan ini. Mungkin pengelolaan SDM dengan pendekatan pemasaran seperti yang saya singgung dalam tulisan saya yang lain di buletin ini (Departemen Pemasaran Internal) dapat menjadi salah satu alternatif wacana untuk dipertimbangkan sebagai konsep pengelolaan SDM kita. Apabila kita berhasil mencetak SDM dengan komitmen tinggi pada perusahaan ini, dapat diharapkan kompetensi di fungsi R&D yang kita inginkan dapat lebih mudah kita capai. Dengan demikian insya Allah kita dapat lebih bertahan sebagai jawara dalam industri ini karena dengan kompleksitas pengelolaan SDM yang menyertainya, kompetensi di fungsi R&D boleh jadi merupakan keunggulan bersaing yang akan cukup sulit diimitasi oleh pesaing kita. Wallaahu a’lam bishshawaab!!
Mau baca lengkapnya? Klik aja......

Jumat, 15 Mei 2009

Bertualang di Bibir Neraka

Sebuah Cerita Pendek

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, ........ Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. Al Baqarah ayat 155 dan Alam Nasyrah ayat 6 tersebut menutup diskusi panjangku dengan ayah.
Kedua ayat tersebut memang menjadi senjata pamungkas ayah setiap kali aku mengeluhkan berbagai kesulitan hidup yang aku hadapi. Dan seperti biasa akupun menyerah. Siapa yang bisa mendebat ayat-ayat dari kitab suci? Apalagi, ayahku memiliki alasan untuk membuktikan kebenaran ayat tersebut.

Ayahku dahulu adalah seorang petani di sebuah desa yang cukup subur. Desa kami berada di lereng sebuah bukit. Walaupun tidak terlalu luas tapi ayah memiliki tanah sawah yang cukup untuk menghidupi istri dan kedua anaknya, aku dan adikku. Sampai pada suatu waktu datanglah musibah itu, krisis moneter! Musibah itu dimulai dari terjungkalnya nilai tukar Bath, mata uang Thailand. Dengan cepat virus krisis tersebut menyebar ke seluruh penjuru Asia, tak terkecuali negeriku, negara yang saat itu disebut-sebut sebagai salah salah satu keajaiban ekonomi Asia. Kehidupanpun berubah total, kami yang tadinya hidup sekedar cukup, terjerembab jauh di bawah garis kemiskinan. Namun bencana itu juga mendatangkan hikmah yang lain, reformasi politik. Euforia kebebasan merebak kemana-mana. Kami seperti baru terbebas dari sebuah ketidakberdayaan. Euforia tersebut berpadu dengan himpitan kesulitan ekonomi yang tak tertahankan, membuat kami kehilangan akal sehat. Kamipun mulai menjarah pohon-pohon yang tumbuh di bukit di atas desa kami. Dalam hitungan minggu hutan diatas bukit tersebut berubah menjadi lahan terbuka yang menyedihkan. Tidak ada lagi dedaunan lebat yang menahan laju air hujan yang menghujam tanah. Tidak ada lagi akar yang terangkai membentuk jaring yang menahan massa tanah. Beberapa bulan setelah itu kamipun menuai buahnya.

Saat hujan lebat di suatu malam, kami dibangunkan oleh suara gemuruh yang dahsyat. Bumi seperti bergetar hebat. Suara takbir, jerit kepanikan dan ketakutan berbaur bersahutan disana-sini. Secara naluriah ayah segera menggendong adikku dan ibu menggandeng tanganku dengan erat. Kami berlari sekuat tenaga menghindar dari desa kami. Dari tempat yang cukup aman aku melihat jutaan ton massa tanah diatas bukit seperti berlomba lari menuruni bukit dengan suara gemuruh yang mendirikan bulu roma. Massa tanah itu dengan cepat mengubur sebagian besar tanah sawah dan pemukiman di desa kami, termasuk sawah dan rumah kami. Aku lihat mata ayah dan ibu berkaca-kaca dan sempat lamat aku dengar ayahku bergumam ”innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Tidak ada ratap tangis. Ayah telah menunjukan pada kami bagaimanakah seharusnya sikap seorang muslim menghadapi musibah yang telah ditetapkan oleh Allah sesuai firmanNya dalam Al Baqarah 156. Ayah kemudian memeluk kami bertiga dan dengan keyakinan tanpa reserve ayah membisikan Al Baqarah 155 dan Alam Nasyrah 6. Ayahpun semakin dalam menanamkan nilai-nilai keimanan Islam kedalam sanubari kami.

Tidak ada pilihan lain. Kamipun harus meninggalkan bekas desa kami dan pindah ke kota. Disinilah ayah membuktikan kepada kami keyakinannya akan kedua ayat tersebut diatas. Tak lama setelah kami pindah di kota, ayah segera mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik yang cukup besar. Walaupun hanya sebagai tenaga kontrak, namun gaji yang ayah terima lebih baik daripada hasil sawah kami di desa. Dengan kesabaran yang luar biasa ayah dan ibuku sanggup menyekolahkan aku dan adikku bahkan sampai ke bangku perguruan tinggi, sesuatu yang tak pernah diimpikan oleh ayahku sebelumnya. Saat ini aku telah duduk di semester akhir sebuah perguruan tinggi teknik ternama di kotaku. Satu langkah lagi aku berhak menambahkan ”koma ST” di belakang namaku. Namun tampaknya Allah belum cukup mencoba kami.

Bencana itu kembali menghantam negeri ini. Para pakar menyebutnya krisis ekonomi jilid dua. Kali ini krisis bermula dari kredit macet sektor properti di negeri adidaya, USA, yang bahkan menumbangkan lembaga keuangan dan perusahaan kelas dunia. Nilai mata uang negeriku kembali terjerembab. Beberapa perusahaan yang bergantung pada pasokan bahan baku impor seperti perusahaan tempat ayahku bekerja mulai goyah. Dan seperti terjadi dimanapun, hal yang paling rasional dan mudah bagi manajemen untuk mengurangi beban perusahaan adalah pengurangan karyawan. Tentu saja yang paling mudah untuk dipangkas adalah mereka yang tidak memiliki ikatan permanen dengan perusahaan, para tenaga kontrak. Dan ayahku berada di urutan teratas daftar tersebut karena usianya yang telah paruh baya. Dengan cepat roda kehidupan kembali memutar kami ke titik nadir terbawah. Ayah telah memberitahukan kepadaku bahwa aku harus berhenti kuliah. Aku sungguh tidak rela gerbang kehidupan yang tinggal satu langkah lagi dapat aku lalui harus aku tinggalkan. Hari ini aku berdebat dengan ayahku untuk tetap kuliah, tapi kembali ayahku menembakku dengan senjata pamungkasnya, Al Baqarah 155 dan Alam Nasyrah 6. Akupun tak berdaya! Namun dalam hati aku bertekad, ”aku harus tetap kuliah, whatever it takes!”. Akupun memutuskan untuk bekerja sambil kuliah

Hari-hari berikutnya aku habiskan untuk melamar pekerjaan kesana kemari. Namun alih-alih menerima karyawan baru, semua perusahaan justru dipusingkan dengan upaya mengurangi jumlah tenaga kerja mereka. Hari itu, setelah lelah berkeliling ke beberapa perusahaan tanpa hasil, aku menuju ke perpustakaan kampusku. Perpustakaan dan masjid kampus memang selalu menjadi jujugan akhirku setiap kali aku menghadapi masalah yang pelik dan tak terpecahkan. Di sudut perpustakaan aku lihat Andri, teman kuliahku. Aku tidak begitu mengenal Andri, karena Andri adalah mahasiswa tipe kuliah-pesta-wanita. Ya, Andri memang mahasiswa flamboyan yang banyak disukai teman-teman wanita. Dia tampan dan kaya, walaupun tidak terlalu pandai. Menurutku aktivitasnya lebih banyak bersifat hura-hura. Andri seringkali berganti-ganti mobil. Tubuhnya selalu dibalut pakaian bermerk. Semerbak parfum bernilai jutaan selalu tercium setiap kali berdekatan dengannya. Sedangkan aku adalah mahasiswa tipe kuliah-buku-perpustakaan. Tentu saja aku merasa kurang nyaman jika harus bergaul dekat dengan teman seperti Andri. Namun hari ini aku singkirkan perasaan tersebut. Mungkin Andri bisa menolongku. Aku yakin orangtua Andri adalah seorang pengusaha sukses. Setelah berbasa-basi, aku sampaikan maksudku untuk minta tolong Andri mencarikan pekerjaan buatku. Andri memandangiku dari atas ke bawah. Dia tersenyum. ”Kayaknya aku bisa kasih kamu pekerjaan”, ujarnya. Dia memberi isyarat kepadaku untuk mendekat dan membisikan sesuatu ke telingaku. Aku terkejut, ”Gila kamu Ndri, tak mungkin aku melakukan itu!”. Andri hanya mengangkat bahunya. ”Yah, terserah kamu. Kalau hanya untuk biaya kuliahmu sampai selesai, kamu hanya perlu melakukannya sekali. Ini nomor hapeku kalau kamu berubah pikiran”, Andri berlalu meninggalkanku. Aku baru menyadari darimana Andri membiayai gaya hidupnya yang mewah tersebut.
***
Satu minggu setelah pertemuanku dengan Andri, aku menemuinya di sebuah hotel bintang lima. Kamipun segera bergegas menuju lantai 12 hotel tersebut. Di kamar tersebut telah menunggu tiga orang wanita. Aku yakin usia ketiga wanita tersebut tidak terpaut jauh dengan ibuku, namun berkat perawatan yang intensif, ketiganya masih terlihat cantik. Menurut Andri, ketiga wanita tersebut adalah istri pejabat berpengaruh dan istri direktur perusahaan besar di kotaku. Ketiganya baru saja memenangkan arisan di kalangan wanita papan atas. Selain uang jutaan rupiah, pemenang arisan ini juga mendapatkan bonus hadiah lain, seorang pemuda!! Aku sudah sering mendengar cerita burung tentang arisan ini, namun tidak pernah sedikitpun terpikirkan bahwa aku akan terlibat di dalamnya, sebagai sang bonus!! Inilah profesi Andri. Setelah berbasa-basi sejenak, Andri meninggalkan kami.

Aku memperhatikan ketiga wanita tersebut. Aku teringat ibuku. Ibuku, muslimah yang demikian taat, tak pernah sedikitpun auratnya terbuka kecuali dihadapan suami dan anak-anaknya. Jilbab ibuku selalu terjulur menutupi dadanya, sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al Ahzab 59. Sementara entah berapa banyak wanita yang mengaku muslimah mengabaikan begitu saja ayat tersebut, padahal ayat tersebut bukanlah ayat mutasyabihat yang memerlukan penjelasan seorang ahli untuk menafsirkannya. Setiap lepas maghrib, rumah kami selalu sejuk oleh alunan merdu suara ibu yang melantunkan ayat-ayat Al Qur’an. Shalawat Ibrahimiyah selalu kudengar dari bibir ibuku pada setiap kesempatan. Kedua amalan itulah, bersama dengan do'a setelah adzan, yang akan membuat kita mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAW kelak di akhirat. Lalu aku perhatikan ketiga wanita di hadapanku. Aku bertanya dalam hati, pernahkah mereka mengkaji satu saja ayat kitab suci? Pernahkah mereka sekali saja hadir dalam majlis ta’lim? Aku bayangkan jiwa ketiga wanita tersebut seperti gersangnya sahara. Sejenak aku dipagut keraguan akan apa yang aku lakukan. Namun suara lain dalam hatiku menepis keraguanku. Aku harus tetap kuliah, whatever it takes!! Aku hanya perlu melakukannya satu kali!! Aku menguatkan tekadku.

Ketiga wanita tersebut mulai mendekatiku. Aku, mahasiswa tipe kuliah-buku-perpustakaan, tak pernah sedekat ini dengan lawan jenisku. Maka ketika segar aroma nafas dan parfum ketiga wanita tersebut menyerbu rongga hidungku, jantungku berdetak kencang memompakan darahku dengan kecepatan dua kali lipat ke seluruh organ tubuhku. Ketika jari-jari ketiga wanita itu mulai menjamah kancing-kancing bajuku, seluruh syaraf dalam tubuhku bergetar hebat. Aku menggigil. Aku pejamkan mataku. Dan saat lembar benang terakhir lepas dari tubuhku, akupun terbang menembus gugusan awan putih di langit. Aku mendarat di salah satu awan. Aku rasakan keheningan yang tak pernah aku alami sebelumnya. Udara dipenuhi harum aroma minyak kesturi. Semilir angin sejuk menerpa tubuhku. Aku merasakan gambaran surga seperti yang diceritakan dalam ayat-ayat kitab suci dan hadis-hadis nabi. Awan tersebut bergerak perlahan melintasi sebuah perbukitan. Aku mengenalnya. Itu adalah bukit di perkampunganku dimana aku dibesarkan. Aku masih bisa mengingat hijau hutan dan gemiricik air terjun kecil di puncak bukit. Awan tersebut terus bergerak melewati gugusan rumah. Itu adalah desaku. Aku lihat rumahku. Di depan rumah berdiri ayah, ibu dan adikku. Mereka memandang kepadaku dengan tersenyum. Aku rasakan betapa teduh kasih sayang yang mereka tumpahkan kepadaku lewat sinar mata mereka. Lalu aku lihat musholla Attaqwa di sebelah rumahku, tempat Ustadz Zainal menanamkan nilai-nilai akidah Islam ke dalam sanubari kami. Aku lihat Ustadz Zainal di depan musholla memandangku. Mata itu sangat tajam berwibawa namun tetap lembut penuh kasih sayang. Tiba-tiba semua berubah. Awan tempatku berbaring berubah menjadi hitam kelam, harum kesturi berganti bau busuk tak tertahankan. Aku lihat ayah, ibu dan adikku. Sinar mata lembut itu telah tertutup oleh genangan air mata iba dan wajah penuh kesedihan. Aku juga melihat sinar mata Ustadz Zainal seperti merah membara menyiratkan kemurkaan. Suaranya bagai petir yang memecahkan gendang telinga semua makhluk di permukaan bumi ini ketika dia menudingku dan meneriakkan Al Israa’ 32, ”Ikhsan, laa taqrobul zina....( janganlah kau dekati zinah)!”.

Astaghfirullah!! Aku berontak dan melompat dari tempat tidur tempatku berbaring. Ketiga wanita yang sedang mengerumuni tubuhku terpental ke belakang. Dengan cepat aku kenakan kembali pakaianku dan menghambur keluar kamar. Di lobby hotel Andri menyambutku dengan senyum nakalnya. ”Kok cepat San?”. Dengan kemarahan memuncak aku layangkan tinjuku ke rahangnya. Tubuh Andri melayang ke udara sebelum jatuh ke atas sofa di belakangnya. Aku terus berlari menuju pintu keluar. Seorang satpam berbadan besar yang mencoba menghadangku terjengkang ke belakang ketika aku mendorongnya. Aku terkejut dengan kekuatan yang tiba-tiba aku miliki. Aku terus berlari keluar hotel. Tak aku pedulikan hujan deras yang membuatku basah kuyub. Aku melompat ke dalam sebuah bis kota yang melintas perlahan dan duduk di bangku kosong di belakang. Gelombang penyesalan terus datang menghantam sanubariku. ”Koran mas?”, seorang anak usia SD menawarkan dagangannya. Ya, Allah! Cobaan yang Engkau berikan pada anak ini jauh lebih hebat dari aku. Dia mungkin bahkan tidak mampu membayar sekolahnya yang baru SD, namun dia tidak menghinakan dirinya dengan meminta-minta. Gelombang penyesalan dalam hatiku berubah menjadi tsunami maha dahsyat yang meremukan perasaanku. Tsunami tersebut membawa ribuan sembilu yang merajam hatiku menjadi jutaan potongan kecil rasa malu dan rasa bersalah yang menyayat-nyayat. Seandainya bisa, ingin aku tersungkur bersujud di lantai bis, merintihkan sayyidul istighfar dan semua kalimat tobat yang aku ingat, ingin aku desahkan ratapan taubat Adam dan Hawa, ”Rabbanaa zhalamnaa anfusanaa...(Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami...)”. Airmataku tumpah tak tertahankan .Gelombang penyesalan tak juga berhenti mencabik-cabik sanubariku. Penyesalan yang entah kapan dapat aku lupakan. (Sesungguhnya setiap manusia pernah berbuat salah, dan yang terbaik diantaramu adalah yang berbuat salah lalu segera bertaubat - Al Hadist).

Mau baca lengkapnya? Klik aja......